Rabu, 22 September 2010
Sudah lima hari ini Willy tak ada
kabarnya. Ia pun tak terlihat kabarnya. Tak ada satupun teman dekatnya yang
tahu keberadaan ia saat ini. “Ngelamunin apa sih lo?”, suara Nania, teman
dekatku sejak kecil mengagetkan lamunanku. “Ngelamun aja lo, pagi-pagi gini
juga. Gak ada kerjaan apa, emangnya lo kenapa? Kok tampang lo kusut banget dari
tadi?”. Aku masih tak menghiraukan apa yang Nania katakan. Yang ada dipikiranku
saat ini adalah Willy. Tak seperti biasanya ia seperti ini. Semua smsku tak
dibalasnya, teleponku juga tak diangkatnya. Tuhan, kemanakah ia? Entah mengapa,
aku selalu merasa ganjil jika sedang memikirkan Willy, karena pasti saat aku
memikirkan ia, aku langsung terpikir pula dengan papa. Ada apa dengan mereka
berdua.
Bel masuk pun berbunyi, semua siswa SMA
berduyun-duyun masuk ke ruang kelas mereka masing-masing. Saat akan pulang dan
mengendarai mobil, Nania mengagetkanku dengan suaranya yang boleh dibilang
cukup nyaring. “Ra, gue nebeng elu yakk, gue nggak dijemput ama Pandu nih.
Boleh kan? Ara kan cantik, baik, imut, rajin menabung, dan..”,ucapnya. “Eits,
stop stop stop ngerayu gue. Lo itu ada maunya aja ya kayak gini. Ya udah, masuk
gih”, sergahku. Selama dalam perjalanan, Nania menanyakan apa yang telah
terjadi pada diriku sehingga aku bisa seperti ini. Namun aku menolak untuk
menceritakannya. Nania terus memaksaku, akhirnya akupun terpaksa untuk
menceritakannya pada Nania. “Yang sabar ya Ra… gue tau gimana perasaan lo saat
ini”, ucapnya. “Iya, tapi sampai kapan gue mesti sabar?”, kilahku. Nania terus
menenangkan aku. Dia memang sahabat yang paling baik.
“Makasih ya tumpangannya, sampai ketemu
besok”, ucapnya sesampai kami di depan rumahnya. Entah mengapa, aku menjadi
tidak berkonsentrasi dalam mengendarai Mercedes Benz milikku yang merupakan
hadiah dari mama. Semua yang ada dipikiranku bercampur menjadi satu. Semuanya
berkecamuk. Lalu tiba-tiba…. Semuanya menjadi gelap….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar