Minggu, 17 Oktober 2010
Akhirnya, aku bisa keluar juga dari rumah
sakit ini. Aku sudah letih berbaring di kasur. Aku ingin menghirup udara segar
seperti dulu lagi, karena hampir empat minggu aku terbaring dirumah sakit ini.
Mama, Nania, Aldo, dan Ryan mengantarku pulang ke rumah. Tapi, kemana Willy.
Semenjak aku dirawat dirumah sakit sampai sekarang tak kunjung ada kabar dari
dirinya. Seorang suster dari rumah sakit ikut pulang bersamaku. Karena ia akan
membantu mama merawat aku dirumah.
Beberapa jam kemudian, akhirnya aku dan
yang lainnya sampai juga dirumah. Aku kangen suasana rumahku, walaupun saat ini
aku tak bisa melihatnya dengan mata, tetapi aku dapat melihatnya dengan mata
hatiku. Suster Nia pun langsung menurunkanku ke kursi roda yang telah
disiapkan. Andai mama dan papa tidak bercerai, andai Willy tidak menghilang.
Semuanya pasti tak akan seperti ini. Oh Tuhan, mengapa Kau siksa aku, saat
hidupku baik-baik saja. Aku tak sanggup Tuhan…
Kapan ya semuanya bisa berakhir. Aku mau
kuliah lagi, aku mau hang out lagi bersama teman-teman, aku mau makan-makan
lagi sama teman-teman…tok tok tok…terdengar suara pintu diketuk. Bi Ijah
langsung membukakan pintu untuk tamu yang belum diketahui itu. “Non, ada tamu
nyari non”, uajrnya. Aku menanyakan siapa yang datang pada Bi Ijah. Dan
ternyata yang datang adalah Willy. Thanks God, Kau kabulkan do’aku. “Hy Ra”,
ujarnya. Dia meminta maaf kepadaku karena akhir-akhir ini dia sedang sibuk
mengerjakan skripsinya, karena dia sekarang sudah semester enam, sedangkan aku
baru semester dua. Aku bisa memaklumi itu, karena cintaku padanya sangatlah
besar. Dia juga megucapkan selamat padaku atas kemenanganku saat lomba kemarin.
Akhirnya au bertemu jua dengan dia.
Malam harinya, aku merasa sulit sekali
untuk tidur. Luka di kepalaku masih terasa cukup sakit. Membuat kepalaku sering
pusing. Aku jadi sering mual, susah berkonsentrasi atas apa yang dibicarakan.
Yah, inilah kenyataan yang harus aku terima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar