Jum’at, 17 September 2010
“Dan juara satu untuk kali ini adalah
Stefanny Savara Jane. Kepada Stefanny harap nak ke atas panggung untuk
memberikan sedikit sambutan”, ucap sang pembawa acara. “Ara, lo menang lagi,
selamet ya”, ucap Benny. “Makasih ya Ben, gue mau naik ke atas panggung dulu”.
Aku pun naik ke atas panggung dan memberikan sedikit sambutan serta ucapan
terima kasih kepada orang-orang yang telah membantuku dalam menyelesaikan novel
karanganku sendiri yang ke-7. Yap, ini adalah acara pengumuman lomba membuat
naskah cerita untuk dijadikan novel, dan aku berhasil mempertahankan gelar
juaraku setiap ada perlombaan. Setelah aku kembali ke tempat dudk, semua
temanku yang hadir dalam acara ini langsung menyalamiku. Mamaku pun langsung
memelukku karena bangga terhadap prestasiku. Namun aku tidak melihat papa.
Kemana dia? Padahal dia akan janji pulang dari London dan menghadiri acara ini.
Dan oh, aku juga tidak melihat Willy, kekasihku. Dimana mereka?
Aku pun langsung pulang ke rumah bersama
mama. Aku menolong mama membawakan kopernya yang ia bawa saat ia ke Washington.
Ia memang baru pulang dari Washington. Aku terkadang bingung juga, megapa
setiap kali mereka bertengkar, mereka langsung pergi entah kemana. Aku juga
tertekan setiap kali mereka bertengkar. Mereka selalu meninggalkanku bersama Bi
Ijah, pembantu kami yang sudah tua. Ia berumur 57 tahun. Ia yang sudah
merawatku dari bayi sampai aku duduk di kelas satu SMA ini. Boleh dibilang,
mama memang sangat sayang padaku, tapi aku merasa lebih dekat denganBi Ijah
daripada mama. Ia dan tentunya papa selalu sibuk dengan urusan masing-masing.
Papa bekerja sebagai Direktur sebuah perusahaan yang terkenal di Indonesia, ia
selalu berhubungan dengan orang-orang luar negeri. Sedangkan mama bekerja
sebagai Manager sebuah perusahaan yang boleh dibilang kariernya melebihi perusahaan
papa. Mama juga merangkap sebagai seorang pengacara dan wirausaha di bidang
butik.
Saat aku bertanya kepada mama tentang
keberadaan papa, aku langsung terisak menangis. Tetapi inilah kenyataannya,
mama berkata bahwa ia dan papa bercerai di Tokyo kemarin. “Mama sudah capek
menghadapi papa kamu itu, akhirnya mama minta cerai, dan papamu langsung
menurutinya. Sekarang ia sudah tinggal di Bandung, mungkin bersama
selingkuhannya”, ucap mama. Aku tak menyangka papa bisa setega itu terhadap
kami. Tak terasa mama memelukku dengan sangat erat dan menitikkan air mata di
bahuku. “Mama harap jika kamu besar nanti, kamu akan mendapatkan pasangan yang
benar-benar setia dan menyayangimu apa adanya. Agar nasib kamu tak seperti
mama. Jaga diri kamu ya sayang”. Aku langsung tak sadarkan diri setelah itu.
Ini sudah hal yang biasa karena penyakitku ini yang sangat sulit untuk
disembuhkan. Atau bahkan tak dapat lagi disembuhkan.
Saat aku sadar, aku langsung meraih handphoneku dan menelepon Willy untuk
menanyakan alasannya tak menghadiri acara tadi. Tak ada jawaban dari dirinya.
Teleponku tidak diangkatnya. Kemanakah ia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar