BENTENG KUTO BESAK
Kuta Besak adalah keraton pusat Kesultanan
Palembang Darussalam, sebagai pusat kekuasaan
tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya menuju zaman baru
di abad ke-19. Pengertian KUTO di
sini berasal dari kata Sanskerta,
yang berarti: Kota,
puri, benteng, kubu (lihat
‘Kamus Jawa Kuno – Indonesia’, L Mardiwarsito, Nusa Indah Flores, 1986). Bahasa
Melayu (Palembang) tampaknya lebih menekankan pada arti puri, benteng, kububahkan
arti kuto lebih
diartikan pada pengertian pagar
tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan
kepada negeri.
Benteng
Kuto Besak merupakan bangunan peninggalan sejarah pada masa Kesultanan
Palembang Darussalam. Pada abad ke-17 Masehi itu, kebudayaan Islam hadir dan
terus mengakar, terutama pasca-kemunduran Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13
Masehi. Benteng Kuto Besak (BKB) dibangun untuk menggantikan
keraton lama, Benteng Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau
Keraton Kuto Lamo, yang berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto
Tengkuruk lalu menjadi rumah tinggal residen Belanda. Saat ini, Keraton Kuto
Tengkuruk difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Bangunan ini dibangun selama 17 tahun di mulai pada tahun 1780
dan diresmikan pemakaiannya pada hari senin tanggal 21 Februari 1797.
Pemprakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 -
1758) dan pembangunannya dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Badaruddin, sebagai
pengawas pembangunan dipercayakan kepada orang-orang China.
Benteng Kuto Besak Palembang mempunyai ukuran panjang 188,75 meter, lebar 183,75 meter dan tinggi 9,99 meter (30 kaki) serta tebal 1,99 meter (6 kaki). Di setiap sudutnya terdapat bastion(baluarti) bastion yang terletak disudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lainnya. Tiga bastion yang sama tersebut merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak, di sisi timur , selatan dan barat terdapat pintu masuk lainnya disebut lawang buritan.
Sebagai bahan semen untuk
perekat bata ini dipergunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan.
Tempat penimbunan bahan kapur tersebut terletak di daerah belakang Tanah Kraton yang sekarang disebut Kampung Kapuran,
dan anak sungai yang digunakan sebagai sarana angkutan ialah Sungai Kapuran.
Selain keindahan dan
kekokohannya, Kuto Besak memang terletak di tempat strategis, yaitu di atas
lahan bagaikan terapung di atas air. Dia terletak di atas“pulau”, yaitu kawasan
yang dikelilingi oleh Sungai Musi (di bagian muka atau selatan), di
bagian barat dibatasi oleh Sungai
Sekanak, di bagian timur berbatas Sungai
Tengkuruk dan di belakangnya
atau bagian utara dibatasi oleh Sungai
Kapuran. Kawasan ini disebut Tanah
Kraton.
Bentuk dan keadaan
tanah di kota Palembang seolah-olah berpulau-pulau, dan oleh orang-orang
Belanda memberinya gelar sebagai de
Stad der Twintig Eilanden (Kota
Dua Puluh Pulau). Selanjutnya menurut G. Bruining, pulau yang paling berharga (dier eilanden) adalah tempat Kuto Besak, Kuta Lamadan Masjid Agung berdiri.
Terbentuknya pulau-pulau di
kota Palembang ialah karena banyaknya anak sungai yang melintas dan memotong
kota ini. Sewajarnya pula kalau Palembang disebut Kota Seratus Sungai.
Sedangkan di zaman awal kolonial, Palembang dijuluki oleh mereka sebagai het Indische Venetie.
Julukan lainnya adalah de Stad des Vredes, yaitu tempat yang
tenteram (maksudnya Dar’s
Salam). Dan memang nama ini adalah nama resmi dari Kesultanan Palembang Darussalam.
Pada saat peperangan
melawan penjajah Belanda tahun 1819, terdapat sebanyak 129 pucuk meriam berada
di atas tembok Kuto Besak. Sedangkan saat pada peperangan tahun 1821, hanya ada
75 pucuk meriam di atas dinding Kuto Besak dan 30 pucuk di sepanjang tembok
sungai, yang siaga mengancam penyerang.
Suatu kebanggaan bagi wong Palembang bahwa Benteng Kuto Besak merupakan satu-satunya benteng yang berdinding batu dan memenuhi syarat perbentengan / pertahanan yang dibangun atas biaya sendiri untuk keperluan pertahanan dari serangan musuh bangsa Eropa dan tidak diberi nama pahlawan Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar