Do you love me? You must love math first
“Miss, game dong, masa belajar terus, materi bentar lagi juga abis kan,” seru teman-teman dikelas gue dengan semangat bagaikan merayakan pesta kemenangan setelah berhasil merebut kemerdekaan.
“Iya, tapi janji pas ujian nilainya harus besar semua,” sahut Miss Aya, guru favorite gue, apalagi kalo bukan guru mata pelajaran matematika. Teman-teman gue banyak menganggap matematika itu bagaikan satu ton bongkahan batu besar dimulut gua yang menghalangi mereka untuk melangkah keluar dari gua yang sempit, pengap, dan panas pastinya, membuat semua orang gerah. Tapi bagi gue matematika itu bukan sebongkah batu besar, melainkan angka yang mendefinisikan perasaan seseorang, kasih sayang yang memiliki sisi-sisi yang berisi sepenggal kisah seseorang. Sebuah logaritma perasaan yang tak mampu didefinisikan.
Oh iya, perkenalkan, nama gue Avy. Lengkapnya Liavy Mennisa. Matematika emang hobby gue, apalagi karena matematika gue bisa dapet beasiswa, dapet bonus plus tiap kali ikut olympiade atau perlombaan matematika lainnya. Haha, lucu yah, matematika sudah seperti pekerjaan yang nantinya akan digaji hasilnya. Dan karena matematika, gue nemuin cinta gue. Hah, secepet ini gue bilang cinta?
“Ayo kita main games kejujuran, siapa yang mau jadi sukarelawan? Lima orang aja,” suara Miss Aya yang terdengar di gendang telinga gue dan membuyarkan semua pikiran gue tentang matematika.
“Gimana cara mainnya, Miss?,” Tanya seorang Cicha, sahabat karib gue. Orang yang sudah gue anggap sebagai saudara kandung gue sendiri.
“Cara mainnya, nanti para sukarelawan akan duduk melingkar, pena akan diputar ditengah-tengah mereka. Apabila penanya berhenti berputar, maka orang yang duduk di depan ujung pena itu harus kalian berikan satu pertanyaan dan dia harus menjawabnya dengan jujur, ok? Are you ready?”..
Gue melihat sukarelawan yang maju, ada Edho, Juna, Harry, Jenn, dan Eza. Gue nggak memperhatikan games yang sedang mereka mainkan. Gue malah mikir siapa yang akan jadi soulmate gue. Gue berdo’a kepada Allah semoga Beliau memberikan seseorang yang dapat membersihkan perasan lemon di atas luka gue yang menganga ini. Luka yang tercipta karena terbakarnya pahatan cinta dihati ini. Pahatan, ukiran yang terpatri sekian lama dihati ini.
Lamunan gue tiba-tiba buyar, nggak tau kenapa, gue jadi tertarik untuk memperhatikan games yang di mainkan oleh kroni kelas gue yang sempat gue abaikan itu. dan kali ini ujung pena berhenti tepat berada di depan seseorang yang gue kenal, Jenn, playboy ulung yang sangat terkenal, siapa yang tidak tahu pada dirinya? saatnya memberikan pertanyaan. Kali ini Harry yang memberikan pertanyaan, tentunya dengan peretujuan kroni kelas gue. Kalo nggak, abis deh dikeroyok.
“Siapa ce yang lo suka dikelas 10, 11, dan 12?”, Tanya Harry. Entah kenapa, gue jadi penasaran. Gue perhatiin kata demi kata yang keluar dari mulut Jenn sekaligus menebaknya. Jenn tampak kikuk dan berusaha menjawab pertanyaan itu.
“Kelas 10, kalian tahu kan, mantan gue, Febby. Kalo kelas 11, kasih tak sampai, Alya. Kalo kelas 12, mmmmmm,” Jenn terdiam. Kroni kelas gue jadi penasaran. Mereka terus memaksa Jenn untuk mengatakan yang sebenarnya. “Ayo dong Jenn, yang sportif”.
“Kelas 10, kalian tahu kan, mantan gue, Febby. Kalo kelas 11, kasih tak sampai, Alya. Kalo kelas 12, mmmmmm,” Jenn terdiam. Kroni kelas gue jadi penasaran. Mereka terus memaksa Jenn untuk mengatakan yang sebenarnya. “Ayo dong Jenn, yang sportif”.
Jenn berusaha menjawab “Hmm, cewek, absennya agak ditengah, kalo nggak salah no.20”. gue dan kroni kelas gue tertawa lepas, tau kenapa? Absen 20 itu cowok, Dimmy namanya. Hahaha, gue kayak orang yang melihat badut dengan make-up tebalnya yang berusaha menghibur jutaan bayi sendirian dan tertimpa tangga yang jatuh dari lantai 20. Jenn berusaha meralat jawaban yang diberikannya tadi. “Nomor 21 maksud gue”. Kami tertawa lepas lagi, bagaimana tidak? 21 itu absen seorang cowok terpintar yang namanya Eddy.
“nah, kali ini pasti bener, no.22”. Wait.. 22? Perasaan gue tau deh…. “Avy?” seru teman-teman sekelas gue. “Iya, Avy,” jawab Jenn dengan penuh kewibawaan. Hal yang membuat dirinya dijuluki Playboy kelas ulung ini. “Cieeee,” kroni kelas yang mulanya diam memperhatikan kata perkata yang dikeluarkannya kini riuh membuncah setelah mendengar apa yang barusan Jenn utarakan.
Bagaikan patung yang disimpan di freezer, tubuh gue terpaku, dingin. Gue diam membisu. Terhenyak sesaat. Merasakan terpaan angin topan yang membawa gue terbang kelangit ketujuh. Gue membiarkan tubuh gue terselimuti salju tebal yang membuat gue nggak bisa melakukan apapun. Akhirnya jam pelajaran matematika selesai. Semua anak-anak dikelas bersiap-siap untuk apel sore, ya, matematika jam pelajaran terakhir hari ini.
Semenjak kejadian di pelajaran matematika waktu itu, Jenn jadi sering chat gue, message gue, pernah juga dia nelpon gue. Dan tau ? gue minat banget buat ngerespon itu semua. Gue nggak tau apa lagi yang gue rasain. Gue selalu kegirangan saat HP gue bunyi dan ternyata ada message dari Jenn. Dan sebaliknya, hati gue hampa, kayak seseorang yang duduk ditengah-tengah ruangan kosong tanpa ada satupun bunyi yang mengganggunya. And guess what? Gue kira gue suka dia, gue kira gue sayang dia, dan gue kira gue cinta dia?
What? Cinta. Gue yang umurnya baru 16 lewat 17 kurang ini bilang cinta? Terlalu dini, ya, gue tau. Cinta monyet kali.. tapi apa donk yang gue rasain. Gue ngerasain kayak bertedug dibawah pohin rindang, tertiup angin sepoi-sepoi, merasakan kesejukan yang diberika Jenn ke gue. Gue nggak boleh kayak gini. Jenn itu playboy kelas ulung. Gue nggak mau ngerasain sakit karena dia. Tapi hati kecil gue ngeronta. Hati kecil gue bilang kalo Jenn itu nggak bisa lepas dari pikiran gue. Ya Tuhan, apa gue harus ngerasain jatuh cinta lagi setelah berkali-kali gue jatuh dari langit ketujuh yang udah membuat gue melambung diudara? Luka dihati gue masih menganga. Apa mungkin gue bener-bener suka dia? Kayaknya nggak mungkin. Eh, tapi kayaknya iya deh..
To be continued..